Rabu, November 19, 2025
BahasaOpini

Sistem Kekuasaan Menghadirkan Para Pecundang

Oleh: Aprinus Salam*

Kekuasaan membentuk dan membutuhkan para pencundang, orang dungu yang tak tahu diri. Kehadiran para pecundang tersebut memanfaatkan dan dimanfaatkan untuk mengacaukan logika, normativitas, moral, dan pengalihan-pengalihan isu secara insidental.
Kekuasaan di sini maksudnya sistem besar yang mengatur kehidupan bernegara dan berbangsa. Pemosisian menjadi pecundang terstrukturasi oleh sistem tersebut. Jadi, bisa sebagai jabatan tertinggi dan semua unsur di bawahnya. Banyak pecundang yang bisa memanipulasi sistem dan struktur tersebut.

Sebenarnya, siapapun bisa jadi pecundang jika memenuhi kriteria berikut. Biasanya, para pecundang tidak benar-benar dungu. Ia menjadi dungu karena dia tidak tahu bahwa dia sedang berperan sebagai pecundang. Dia bisa ngomong asal-asalan, tidak punya malu, tidak punya harga diri, dan penyerakah yang siap menjilat. Kemungkinan lain, mereka bisa acting berlagak pintar, sering pamer dengan segudang prestasi palsu. Tentu, awalnya, kekuasaan lebih suka jika para pecundang itu hadir dari masyarakat, atau katakanlah atas nama rakyat. Namun, jika si pecundang mulai mengganggu wibawa kekuasaan, maka dengan mudah disikat.
Para pecundang “dari masyarakat” tersebut biasanya mereka yang kecewa, mereka yang tidak (sudah tidak) kebagian jabatan, atau mereka yang nafsunya masih besar ingin menjadi pahlawan. Rakyat asli, tidak akan menjadi pecundang.

Kalau dalam perdebatan publik para pecundang itu terlihat kalah, maka orang itu pelan-pelan akan dilepas, dan kekuasaan akan mencari pecundang lain. Tapi, yang jelas masyarakat sudah terkecoh, sudah terkuras energinya membicarakan perilaku para pecundang, yang sebenarnya ada di antara mereka sendiri. Namun, yang tidak kalah pentingnya adalah para pecundang sengaja dipasang kekuasaan dalam jabatan-jabatan tertentu. Ini yang mengerikan. Hal ini selalu terjadi untuk setiap rezim kekuasaan.

Saya tidak bisa menyebut nama karena itu tidak etis. Namun, jika kita melihat para pejabat di negeri ini, akan terlihat kepecundangannya, dan mereka tidak tahu bahwa semua perilaku politiknya memenuhi kriteria untuk disebut pecundang.
Pertama, mereka yang bergaya sok sibuk, wira-wiri memperlihatkan kemewahan, dengan rombongan yang besar dan tentu tukang foto dan humas. Padahal, yang mereka lakukan tidak lebih dari seremonial itu sendiri. Toh, yang bekerja sebenarnya tetap rakyat.

Kedua, mereka yang banyak omong. Tapi kita bisa menguji, tidak ada omongannya yang penting dan bermanfaat bagi masyarakat. Biasanya mereka sengaja dipasang justru untuk lucu-lucuan yang tidak lucu. Pecundang ini sengaja dipasang agar, jika ada perdebatan, justru tidak masuk ke substansi masalah.

Ketiga, mereka yang tersandera oleh kejahatan dan kecurangan di masa lalunya. Inilah pecundang sejati. Kekuasaan tahu, mereka yang dalam posisi itu justru sangat lemah dan rentan. Mereka akan mengabdi secara mutlak dan memegang jabatan sepenuh nafsu keserakahan.

Dalam perjalanan dan terselenggaranya kekuasaan, bos-bos besar (baik yang muncul di depan maupun yang di belakang layar) akan selalu memantau permainan kekuasaan para pecundang tersebut. Jika situasi membuat risih, kekuasaan akan membeli-beli waktu dengan berbagai tipuan naratif apakah para pecundang tersebut akan diselamatkan atau dibuang. Ini pun sudah terjadi. Akan ada skenario baru lagi dalam berbagi bentuk plot yang manipulatif dan tentu juga sangat politis.

Namun, yang penting, ketika para pecudang tersebut sedang memerankan keaktorannya, sambil membeli-beli waktu, terbukti kekuasaan terus berjalan. Kita terjebak di dalamnya. Bahkan, untuk memperbaiknya pun sangat sulit. Begitu kuatnya sistem kekuasaan para pecundang tersebut.

*Prof. Dr. Aprinus Salam, S.S., M.Hum., Guru Besar Sosiologi Sastra, UGM.

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *