Menggali Memori Kolektif: Emang Mau Ke Mana?
Oleh: Aprinus Salam*

Menggali memori kolektif yang kita kerjakan hari ini untuk ke mana dan mau ngapain? Menggali memori kolektif masa lalu ada dua hal. Pertama menggali “mimpi dalam masyarakat kuno” dan menggali “mimpi di masa lalu”.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; kita disituasikan untuk melakukan semacam “strategi kebudayaan”, yang disebut sebagai praktik menggali memori kolektif. Kemudian, kita sibuk menelusuri ulang, dulu para lelulur kita pernah berpikir, membuat, atau menulis apa saja. Bagaimana masyarakat lelulur itu mempraktikkan kehidupannya.
Kemudian, sebagian dari warga-masyarakat menemukan semacam “masa lalu yang jaya”, apakah itu pada masa Sriwijaya (yang sebagian besar sebenarnya tidak menyisakan bekas). Sebagian lagi mengulik kejayaan Mataram Kuno, Majapahit, atau melacak berbagai sumber dari peradaban dan kerajaan yang pernah eksis di berbagai belahan Nusantara. Dulu, seorang pemikir kehidupan budaya, Walter Benjamin (1892-1940), telah memikirkan hal tersebut. Dia memperkenalkan teori yang disebut sebagai mimpi ganda (double dream theory).
Secara strategi kebudayaan, kita dikondisikan untuk mengulik kembali “kemungkinan kehebatan masa lalu” untuk mengantisipasi masa kini dan masa depan. Apa yang diantisipasi dan coba diatasi, yakni ketidakadilan dan kemiskinan. Ketidakadilan dan kemiskinan berimplikasi pada konflik dan kekacauan terus menerus. Strategi kebudayaan tersebut bisa disebut sebagai strategi atau mimpi fetisisme. Bukan mencari kebaruan, tetapi mencari sesuatu yang diandaikan pernah ada di masa lalu dan diharapkan bisa dihadapkan dengan rezim kapitalisme global.
Inilah yang disebut sebagai kekacauan komodifikasi. Yakni, upaya membongkar suatu saluran dari disposisi yang diduga melekat di pemikiran kuno dan membawanya untuk langsung berhadapan dengan segala kekacauan yang terjadi akibat dari praktik kapitalisme dan komunisme. Adanya kekacauan kondisi sosial berupa kontradiksi kesejahteraan dan kemiskinan. Mungkin, sebagian masyarakat, akhirnya, sadar terhadap mimpi fetisisme tersebut. Bukan berarti jika masyarakat sadar, manusia bisa keluar dari mimpi pertama itu. Manusia justru masuk ke mimpi kedua, yakni utopianisme. Mimpi utopianisme itu membayangkan akan adanya sebuah dunia yang sempurna, indah, menawan, serba nikmat, paling tidak bisa bebas dari cengkraman kapitalisme, penindasan, penguasa yang absolut. Seolah-olah dunia yang disebutkan tersebut tampak revolusioner dan sangat menguntungkan bagi umat manusia.
Dibanding mimpi fetisisme, mimpi utopianisme masih lumayanlah. Fetisisme mengandalkan ada “Hal masa lalu” yang diharapkan bisa mengatasi masalah masa kini. Tentu kadang dilupakan, “Hal masa lalu” itu sendiri tidak bisa mengatasi masalahnya sendiri. Terbukti, banyak yang tidak bisa bertahan dengan modernisme dan kapitalisme kehidupan. Mimpi utopianisme masih lumayan karena dia menyelipkan suatu yang sedikit spiritual, yakni kemungkinan datangnya atau hadirnya “penyelamat dunia.” Harapan baik terhadap “hal spiritual”, atau mungkin “tangan kebaikan Tuhan”, masih menyimpan ingatan purba bahwa akhirnya segala sesuatu ada yang lebih berkuasa. Kita manusia hanya berusaha. Masalahnya, dunia tidak berjalan linier. Walau secara akademik, masa depan bisa diprediksi, tetapi, tetap saja kita tidak tahu apa yang terjadi di depan. Kita juga berjuang, agar kesalahan dan kegagalan di masa lalu tidak terulang. Mengerahkan semua energi untuk masa depan yang lebih baik, bisa pula menjadi lebay. Labaynya adalah bahwa hal itu memungkinkan kita untuk berjuang mati-matian mewujudkan takdir sejarah di masa depan. Kita pun akhirnya dikondisikan “saling bersikutan karena merasa paling benar dalam perjuangan”, demi masa depan yang cerah.
Kembali ke persoalan, menggali memori kolektif yang kita kerjakan hari ini untuk ke mana dan mau ngapain? Menggali memori kolektif masa lalu ada dua hal. Pertama menggali “mimpi dalam masyarakat kuno” dan menggali “mimpi di masa lalu”. Mimpi pertama, kita terjebak dengan mimpi kemajuan, bahwa dunia akan terus berkembang. Sementara itu, mimpi kedua, kesadaran tentang “mimpi di masa lalu”, bisa lebih memberi pelajaran bagaimana kita perlu bermimpi di hari ini, untuk masa depan. Jadi, menggali memori kolektif masa lalu perlu strategi dan kesadaran bahwa leluhur kita tidak terlalu jaya. Kekalahan dan kehancuran adalah buktinya, dan untung, kemudian, diselamatkan untuk menjadi Indonesia.
Kini kita tahu, bagaimana kondisi Indonesia. Perlu formula baru dalam bermimpi. Mari kita diskusikan lebih lanjut.
*Prof. Dr. Aprinus Salam, S.S., M.Hum., Pakar bidang Bahasa, Komunikasi, Studi Budaya, dan Sastra.
Ketua Program Studi Magister Ilmu Sastra, UGM.
